Sunday, February 28, 2010

Mobile Money Transfer di Indonesia

Bagaimana status mobile money transfer alias mobile remittance di Indonesia?  Faktanya, perkembangan teknologi ini di Afrika sangat luar biasa, terutama di Kenya dengan M-Pesa dari Safaricom. Teknologi ini menjadi satu kontributor penting untuk meningkatkan gairah ekonomi di Afrika, dan bahkan mengentas kemiskinan.

Ada beberapa provider mobile money transfer di Indonesia, misalnya T-Cash dari Telkomsel, Dompetku dari Indosat, dan mungkin i-Pay dari Indosat M2?.

Apa kelebihan M-Pesa dibandingkan layanan provider nasional kita? Kalau memang masyarakat kita membutuhkannya, seharusnya bisa booming juga dong?

Ternyata layanan utama M-Pesa yaitu mobile money transfer tidak tersedia baik di T-Cash maupun Dompetku. T-Cash dan dompetku hanya dapat digunakan untuk melakukan pembelian di merchant tertentu, pembayaran tagihan, dan top-up pulsa.

Saya pikir tidak lama lagi layanan mobile money transfer akan diadopsi oleh para mobile operator. Kita bisa tunggu, atau yuk melakukan inisiatif mandiri! Mau? ;-)

Mobile Money Africa » Blog Archive » Mobile money transfer is now the new ‘bank of the poor’
Mobile phone-based money transfer and banking solutions have been recognised as the avenue to take banking services to people outside the formal financial industry.

The services have helped reduce the cost of access to financial services for 2.3 billion people in the world who live on less than $2 per day and cannot afford formal financial services.

According to the “Banking and mobile money transfer solutions in the Comesa region” conference held in Nairobi, these figures go to show that the opposition by banking institutions to financial inclusion of the new technological banking solution was baseless.

The meeting, organised by Africa IT Exhibitions and Conferences (Aitec), underscored the use of mobile phone-based money transfer services to provide banking services to those who cannot access formal services.

The services are cheaper than conventional banking, which comes with expenses the poor could not afford.

Apart from various existing mobile banking solutions in the region like M-pesa, Zap and yuCash, there are about 120 other pilot mobile banking services around the world.

The only concern is how to replicate the success services like M-pesa to other countries.

QR-Code di Kartu Anggota Koperasi


Melakukan transaksi dengan memasukkan nomor anggota secara manual agak merepotkan. Solusinya adalah mencontoh mekanisme kartu debit saat ini, yaitu menggesek kartu lalu memasukkan nomor PIN atau memberi tanda tangan (selayaknya kartu kredit).

Bagaimana menerapkan teknologi seperti ini di koperasi kredit yang kecil, dengan biaya seminimal mungkin?

Beberapa alternatif yang saya kaji:
  • Barcode
  • Smart card
  • Magnetic card
  • RFID
  • Fingerprint (sidik jari)
  • QR Code
Yang terakhir ini paling menarik bagi saya.

QR Code memiliki beberapa kelebihan:
  • Tidak perlu hardware khusus untuk membaca QR Code.
    Bahkan kamera VGA dari ponsel entry-level pun sudah cukup!
    (tentu saja ini tergantung lighting dan juga tingkat kompleksitas data)
    Kelebihan ini hanya dimiliki QR Code.
    Barcode, smart card, magnetic card, RFID semuanya perlu hardware khusus.
    Barcode secara teori tidak perlu hardware khusus tapi dalam prakteknya butuh barcode reader.
  • Software untuk pengolahan QR Code tersedia secara open source.
    Antara lain: QR Code @ Sourceforge dan ZXing
    Bahkan di ponsel berbasis Android akan dibundle dengan OS Android.
  • Untuk membuat QR Code cuma butuh printer dan kertas.
    Software untuk membuatnya pun tersedia secara open source bahkan ada yang web-based misalnya QR Code Generator.
    Cuma satu teknologi lain yang bisa seperti ini yaitu barcode.
  • Data yang tersimpan cukup fleksibel.
    QR Code mempunyai semua kelebihan barcode plus satu lagi yaitu datanya fleksibel.
    QR Code bisa berisi URL atau data apapun yang ingin dimasukkan.
    Tentu saja, QR Code tetap kalah dalam urusan data kalau dibandingkan Smartcard maupun RFID.
    Tapi secara umum, QR Code pas untuk kebutuhan ini.
Penggunaan QR Code untuk Kegiatan Operasional Koperasi & Anggota

Setiap anggota koperasi akan diberi kartu anggota yang menampilkan QR Code.

Selain nomor anggota, QR Code ini juga bisa diisi dengan nama anggota, alamat email, no. HP, dll. sehingga mempermudah pengolahannya tanpa harus punya akses ke server pusat (misalnya server koperasi) untuk mendapatkan data-data tersebut.

Use case QR code tersebut antara lain:
  • Saat melakukan transaksi di teller koperasi, anggota cukup memberikan kartu anggotanya.
    Komputer koperasi dapat membacanya melalui webcam, atau ponsel berkamera yang terhubung via USB/Bluetooth.
    Data tersebut akan masuk ke software ERP sehingga meminimalkan kesalahan input, dan juga lebih cepat.
  • Bila teller menggunakan software berbasis ponsel, software yang terinstall di ponsel dapat membaca QR Code melalui kamera ponsel dan menginputkannya.
    Di sini sepertinya tidak mungkin menggunakan QR Code untuk mobile web maupun Opera Mini.
    Jadi harus menggunakan aplikasi mobile native misalnya J2ME.
    Aplikasi ini bisa mengolah data anggota tersebut ke server pusat menggunakan (1) mobile Internet maupun (2) SMS.
    Bisa juga diolah secara lokal apabila aplikasi J2ME tersebut mempunyai data store independen.
  • Micro remittance mandiri via QR Code.
    Untuk melakukan transaksi jarak jauh, daripada susah-susah mengetik nomor anggota, cukup jepret kamera dan menggunakan aplikasi untuk melakukan transaksi secara mandiri.
    Koperasi dapat mengeluarkan buletin secara berkala yang menampilkan QR Code semua anggotanya. Ruang lingkupnya tentu dibatasi agar tidak terlalu banyak yang muncul.
  • Transaksi retail secara mandiri -- pembeli yang memiliki QR Code.
    Saat berbelanja di toko, anggota dapat memberikan kartu anggota ke toko untuk melakukan transaksi, sama seperti kita memberikan kartu debit atau Flazz ke kasir. Toko menjepretnya menggunakan aplikasi POS mobile, lalu memberikan HP-nya ke pembeli untuk memasukkan nomor PIN, lalu terjadilah transaksi.
  • Transaksi retail secara mandiri -- penjual yang memiliki QR Code.
    Bisa juga pembeli yang langsung melakukan transfer. Caranya pembeli menggunakan ponsel dia sendiri, menjepret QR Code penjual, lalu memasukkan nominal dan melakukan transfer. Pembeli dapat menunjukkan bukti transfer kepada penjual.
  • Mobile shopping dengan katalog/brosur.
    Koperasi atau penjual dapat membagikan katalog/brosur produk. Bisa juga ditampilkan di poster, mading.
    Tiap produk memiliki QR Code, yang berisi informasi elektronik yang ngelink ke sistem koperasi.
    Konsumen yang tertarik bisa menggunakan aplikasi J2ME di ponselnya untuk menjepret QR Code tersebut, lalu melakukan pemesanan & sekaligus pembayaran. Saat terjadi pembayaran maka supplier/penjual akan dinotifikasi via SMS.
    (Implementasinya tidak perlu dengan software ERP atau e-commerce, tapi bisa langsung menggunakan Cyclos banking sehingga lebih sederhana.)
Bagaimana kira-kira menurut Anda?

Sistem Perbankan dan Ekonomi Lemah

Lagi nyari-nyari ERP yang cocok, malah ketemu artikel tentang STRO, Cyclos, dan visi misi mereka untuk mewujudkan ekosistem perdagangan yang lebih baik bagi kaum ekonomi lemah.

Mobile Money Africa » Blog Archive » Promoting Open source solutions for African Microfinance – Hugo Van Der Zee
The Social TRade Organizations STRO is a group of foundations that are involved with Micro Credit and trade networks based on internal currencies. The first STRO was founded in 1970 in the Netherlands and has been mostly active in Europe and Latin America. STRO usually works with local partner organizations on financial solutions that stimulate local development and create new possibilities for small and medium sized enterprises.

The hart of the Social Trade approach is that money entering poor region should circulate some times before leaving the area for imports from rich areas, in order to organize the local economy, create employment and business opportunities. From this point of view it is important to prevent purchasing power leaving the poor regions because of interest payments or services/solutions that could have been delivered in the community itself. The development and high availability of new technologies offered an opportunity to achieve these goals.

STRO picks up the challenge described by Bank of England’s governor Mervyn King:
“Is it possible that advances in technology will mean that (…) the world may come to resemble a pure exchange economy? Electronic transactions in real time hold out that possibility. There is no reason, in principle, why final settlements could not be carried out by the private sector without the need for clearing through the central bank. (…) There is no conceptual obstacle to the idea that two individuals engaged in a transaction could settle by a transfer of wealth from one electronic account to another in real time. (…) The same system could match demands and supplies of financial assets, determine prices and make settlements. Financial assets and real goods and services would be priced in terms of a unit of account. Final settlement could be made without any recourse to the central bank.(…) Without such a role in settlements, central banks, in their present form, would no longer exist(…).

Pengembangan Perangkat Lunak secara Kolaboratif

Sebelumnya saya sempat membahas Software ERP berlandaskan Koperasi?

Ternyata sudah ada yang membuat seperti ini, contohnya Collaborative Software Initiative.

Infrastruktur IT Paling Hemat untuk Koperasi Kecil?

Sedang mikirin bagaimana cara koperasi kecil bisa mendapatkan infrastruktur/sistem IT dengan biaya sehemat mungkin.

Kalau bisa, meski hemat, tapi vendor/provider IT juga dapat bagian (lho?)

Cost pointsnya sebagai berikut:
  1. Operating System. Bisa pakai Ubuntu (Linux), yang biaya instalasinya gratis.
  2. Software ERP.
  3. Software CCS. Cyclos ini open source dan gratis.
  4. Software mobile web transactions.
  5. Software SMS transactions.
  6. PC Server on-site
  7. Server di Internet (hosting)
  8. Koneksi Internet
  9. PC/Laptop Client
  10. Ponsel client
  11. Buku/Manual/Dokumentasi
  12. Training untuk Operating System
  13. Training untuk staf/admin ERP
  14. Training untuk staf/admin CCS
  15. Training untuk anggota/pengguna
  16. Gaji Staf Technical Support
Software. Dari segi biaya bisa menggunakan software yang gratis dan open source.

Hardware server on-site. Ini agak susah... bisa diakali dengan cara beli hardware secara kolektif, lalu disambungin pakai jaringan/LAN atau koneksi Internet.

Hardware server hosting. Ini paling gampang, apalagi kalau pakai infrastruktur yang gratis seperti Google App Engine. Untuk web hosting jika menggunakan infrastruktur LAMP (shared hosting) cukup terjangkau (~ 250rb per tahun + domain).

Koneksi Internet. Kalau cuma butuh koneksi Internet dengan kualitas rendah atau quota kecil, bisa pakai DSL Speedy yang entry-level maupun paket GSM/CDMA ekonomis. Coverage tentunya bergantung pada provider, dan koperasi yang sangat terpencil bakal sulit mendapatkan koneksi.

Hardware client. Harga PC maupun laptop masih relatif mahal. Mungkin bisa disiasati dengan PC second atau netbook.
Dengan netbook pribadi + modem broadband untuk masing2 staf, bisa bekerja dari mana saja termasuk di rumah. Tingkat efektivitasnya perlu dikaji lebih lanjut.

Ponsel client. Ponsel ini sangat murah, dan multifungsi. Bisa dibilang tiap staf maupun anggota sudah otomatis punya. Coverage untuk SMS maupun mobile Internet juga lumayan OK. Perlu dikaji efektivitas ponsel ini untuk kegiatan administrasi (ERP), POS, dan transaksi anggota.
Untuk POS dan transaksi anggota saya yakin ponsel saja cukup. Tapi untuk administrasi ERP dan CCS ini belum ketahuan gimana.
Studi kasus: Facebook saja dapat diakses via ponsel. Termasuk gmail dan google reader. ERP: Kenapa tidak?

Buku/manual/dokumentasi. Ini perlu kerjasama, so perlu dibentuk lembaga yang mengurusi hal ini untuk semua koperasi (cooperative learning resource development), yang didukung baik oleh para koperasi yang memakainya, LSM/NGO, pemerintah & swasta.

Training. Perlu ada dokumentasi terlebih dahulu, yang bisa sambil dibuat pas ada training.
Intinya di sini butuh dana untuk menggaji trainernya. Kalau trainernya baik maka si trainer bisa jadi anggota koperasi dan "digaji" dari SHU koperasi itu.

Staf Teknis. Ini juga sulit, apalagi kalau IT tersebut terdeploy di banyak tempat.
Hambatan teknis akan membuat sistem sulit/tidak dipakai. Solusinya, harus ada training untuk staf teknis "setempat".
Tapi ada kalanya masalah teknis ini butuh escalation, dan costnya jadi membengkak.
Satu solusinya adalah dengan mengoutsource infrastruktur, misalnya tidak memakai on-site server.
Bila server bisa di-host 100% dari Internet dan operasional client dapat dilakukan fully mobile, maka urusan staf teknis ini tidak akan jadi masalah.
Tinggal ngurusin training untuk end-user saja.

Software ERP berlandaskan Koperasi?

Gw baru nyadar kalo "sama-sama untung, sama-sama rugi" adalah prinsip co-op a.k.a koperasi.

Lg kepikiran gmn kalo para koperasi2 di Indonesia ini (terutama yg medium-to-large) bisa memakai ERP yang "shared". Actually nggak harus koperasi2, tapi perusahaan2 apapun yg butuh ERP. Tapi bisnis software ERP-nya sendiri di-manage secara co-op.

So far pilihannya adalah:
  1. ERP ad-hoc, ERP kecil2 yang proprietary dan unmaintained, awalnya in-house. Ini yang paling umum dipakai dan lama2 bikin pusing. Satu perusahaan tidak kuat utk  mendukung biaya development & maintenance ERP ini, bahkan developer awalnya sendiri gak kuat.
  2. ERP open source: OpenERP, xTuple PostBooks, Openbravo, Compiere, Adempiere, webERP.
    Harusnya menjadi pilihan yang bagus untuk SME/UKM di Indonesia. Tapi kurang  dukungan support, customisasi, training, dan balik lagi ke masalah developer/SDM.

    Kalo minta service dari perusahaan komersil yang membacking open  source, harganya mahal banget... so tidak terjangkau bagi UKM, meski utk perusahaan besar itu cost yang worth it.
  3. ERP komersial, misalnya Sage, SAP, xTuple ERP, Microsoft Dynamics NAV, Epicor, Salesforce, Zoho.

    Hanya terjangkau bagi medium-to-large companies.
    Untuk kustomisasi dan support, biasanya dari partner lokal dan costnya beragam, tapi tetap mahal.
Note that "mahal" di sini tidak berarti buruk, karena bisa berarti berkah bagi yang menerima duitnya. Tapi jangan sampai "mahal" tersebut jadi menghambat. Kalo gara-gara mahal maka gak jadi beli, maka ERP provider tersebut juga rugi.

Mungkinkah dengan perusahaan ERP software yg dibentuk secara co-op,  bisa win-win solution bagi semua pihak terkait?

Ramblings - Could an ERP Software Co-Op Work
Normally when you think of a Co-Operative (co-op), you think of a farmers or some other community co-op. People create co-ops so that they join together with a common business to produce or supply a services, operated by its members with the profits and losses shared by the menbers as well. Could an ERP software co-operative work and be profitable?

Software companies strugle with a number of issues on a daily basis - mainly because of the way that they are structured:

* Limited development resources means that extensions and improvements to the products need to be prioritized and cut
* Customers do not always feeling that they ware being heard and their specific needs are not being addressed
* Retaining customers and maintenance is administratively burdonsome
* Managing 3rd Party developers and partners.

In an economy based on sharing, could these be overcome through a co-op structure?

If customers become shareholders in the organization, and are also given the opportunity to contribute in the development of the product though internal open source where everyone who owns a copy of the product and shares information on what they are doing, then the centralized development model, and the bottleneck of having a limited number of developers becomes less important. As a co-op, it is in the best interests of the members to share their extensions, and also extend out the product. The co-op would just provide a mechanism for managing those extensions, and also have a small development staff that can create the extensions to the products that the members do not have the time, or the skillsets to do.

As a collective, then there is no reason why the customers are not getting their needs addressed. Rather than having one organization benevolently dictating what new features and needs get addressed, there are many mini-development groups all contributing to the product and providing real world applications. As the network of customers grow, the development resources and insights shouild grow quickly as well.

Having a vested interest in the software as well incentivises the customers to be good co-op citizens as well. Because the whole premise of the co-operative is that they will share in the profits and losses of the co-op, then it is in their best interest to keep the product as profitable as possible. With that said, the central co-op administrators have a stake in this as well, and need to stay as lean as possible so that they don't drain away any unneccessary profits as well. A maintenance loss to the co-operative is a loss to the collective group, so a supportive and constructive community is key.

The final question is how to address 3rd party developers and consultants. How will these people get access to the product to learn it, and to develop on it. There is no reason why they cannot be included in the co-op structure. They can easily purchase a single user co-operative share, and as a result become vested members in the community.

Could an ERP Software Co-Operative work? I don't know...

Saturday, February 27, 2010

Each of Us Should Do This for Better Economy - Money "Plumber"

Money is very much like water more than you think.

Water flows. Money does too.
Water is globally in abundant, but scarce in some places.
Money is theoretically unlimited, yet very scarce for most people and communities.

Water composes over 70% of our body, yet we don't consume it 70% of our time. Simply drinking 8 glasses a day is enough for everybody.
Water is the most essential part of living and without it, we'd easily die from dehydration.
Money probably accounts for 70% of our lives' struggles. But money is far from everything, and nobody needs all the wealth in the world.
It is so essential, that insufficient supply of money spawns political problems, social problems, criminality and all sorts of problems.

Notice that I highlighted although money is only a problem because it is scarce, so money is not a bad thing.

Money can become a problem just like water can be a problem when the water plumbing is our house is broken.
Neither money nor water are problems. Bad plumbing is the problem for both water and money.

So each of us should be a money plumber. What's a money plumber?

A plumber makes liquid flows properly.
(and you've heard cash being referred to as "liquidity", right?)

Be part of the solution : Be a money plumber.

Friday, February 26, 2010

Cara Mendirikan Koperasi

Baru nemuin dokumen cara mendirikan koperasi.. bahasa Inggris sih, tapi lumayan lengkap. Aku belum akan bikin koperasi sih, lebih ke meningkatkan koperasi yang ada.

How to Start a Cooperative
A cooperative is a business owned and controlled by the people who use its services. They finance and operate the business or service for their mutual benefit. By working together, they can reach an objective that would be unattainable if acting alone.
The purpose of the cooperative is to provide greater benefits to the members such as increasing individual income or enhancing a member's way of living by providing important needed services. The cooperative, for instance, may be the vehicle to obtaining improved markets or providing sources of supplies or other services otherwise unavailable if members acted alone.

Mobile Voting - Persetujuan Kredit ala Facebook?

Di dalam koperasi kredit, setiap anggota adalah "pemegang saham" koperasi tersebut, dan tiap anggota mempunyai hak voting dalam pengambilan keputusan hal-hal yang berkaitan dengan koperasi. Tentunya, persetujuan kredit juga termasuk di dalamnya. Wong profit nggaknya koperasi, juga imbasnya langsung kepada para anggota.

Dalam prakteknya, manajemen koperasi dijalankan oleh pengurus, bukan oleh anggota secara langsung. Tapi mungkin ini hanya karena keterbatasan teknologi. Andaikata teknologi memungkinkan, akankah koperasi cenderung memilih pengambilan keputusan oleh anggota secara langsung, daripada staf pengurus/manajemen?

Ada konsep yang keren dalam paper Pendekatan Inovatif Strohalm untuk Pembangunan oleh Mr. Stephen DeMeulenaere dari Strohalm Foundation :

Metodologi yang sudah dikembangkan dari penelitian ini akan diuji dalam percobaan. Salah satu
pendekatan yang paling menjanjikan adalah dimana konsumen lokal dilibatkan dalam proses
analisis kelayakan kredit yang diajukan oleh perusahaan lokal , dan mendukung pembayaran
pinjaman mikro (mikro kredit), sederhana sesuai kebiasaan konsumtif mereka. Dengan begitu
biaya evaluasi dan pelaksanaan, yang tinggi dibandingan dengan jumlah pinjaman mikro (mikro
kredit), akan sangat banyak terpotong. Oleh sebab itu, konsumen lokal  lebih baik dalam memilih
pengusaha yang mempunyai cukup kredibilitas dan dukungan untuk melakukan  pembayaran
pinjaman, di tambah bunga.
 
Konsumen diberi hadiah untuk jasa ini, menerima kembali sebagian besar dari pendapatan
bunga, dengan begitu menjadi pemegang saham yang mungkin kembali ke mereka. Fakta ini
membuat mereka secara harfiah tertarik pada proses ini. Dengan begitu kebiasaan konsumtif
masyarakat lokal secara langsung berhubungan dengan keberhasilan mikro-kredit.
 
Situasi atau keadaan  "win-win atau menang-menang" akan dihasilkan oleh sistem seperti ini:
-  Konsumen akan mendapat bonus jika dia membeli barang-barang atau jasa-jasa lokal dan
dengan demikian mendukung proses pinjaman,
-  Pengusaha akan mempunyai tawaran yang lebih menarik kepada pelanggan lokal dan oleh
karena itu mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk membayar kembali pinjaman dan
menyadari adanya pembayaran bunga,
-  Dari pandangan penyedia (pemilik) modal awal hasilnya akan menjadikan  perekonomian
lokal yang lebih berfungsi dan aktif, dan dengan demikian kelayakan kredit pelanggan lokal
menjadi,
-  Pihak yang berwewenang pada tingkat lokal akan melihat komunitas mereka menjadi lebih
dapat dipertahankan.


Menurut saya, konsep ini keren sekali walau saya belum tahu gimana prakteknya in action.

Di bank swasta maupun BUMN, hal ini tidak mungkin terjadi. Hanya koperasi kredit yang memungkinkan hal ini, karena para anggota (konsumen juga) punya andil dalam menentukan profitabilitas dan sustainabilitas koperasi. Tidak seperti bank yang hanya dikendalikan pemegang sahamnya.

Contoh implementasinya dengan teknologi mobile voting misalnya seperti ini:
  • Sebelumnya, harus dirapatkan, bagaimana formula penentuan approval kredit. Aturan2nya, berapa % yg dari voting dan berapa yang dari pihak manajemen (hak veto).
  • Saat ada pengajuan kredit, maka setiap member (atau member2 tertentu yang merasa "berkepentingan") akan mendapat notifikasi. Bentuknya bisa seperti notification di Facebook, yang mungkin dikirim juga via email maupun SMS, atau bahkan Twitter, Google Buzz, Koprol, dsb. ;-) [mulai deh geekynya keluar]
  • Anggota dapat melihat data pengajuan kredit tersebut, baik dari SMS yang dikirim maupun dibuka detailnya via web browser atau mobile web. Mobile web pun tidak harus WAP karena sudah ada teknologi Opera Mini. So "HP jadul" bukan masalah lagi.
  • Anggota dapat melakukan voting  terhadap pengajuan kredit tersebut, dengan klik/pencet Setuju/Tidak Setuju. Mirip2 Like-nya Facebook lah. Anggota yang tidak memberikan votingnya dianggap abstain. Formula persetujuan kredit juga sudah memasukkan bagaimana perhitungannya kalau abstain dll. di sini.
    Kalau via SMS, member tinggal reply saja SETUJU atau TOLAK. Mungkin dikasih no. pengajuannya, misalnya SETUJU 24 untuk arsip #24.
  • Selain voting, anggota dapat memberikan masukan secara bebas, seperti comment atau wall di Facebook.
    Berguna misal anggota mempunyai rasionalisasi lain yang tidak murni sekedar setuju/tolak.
  • Parameter lainnya dapat juga menjadi masukan, misalnya berapa bunganya (kalau pake bunga), lama pinjaman, jumlah pinjaman, dll.
    Mungkin kalo via SMS agak ribet, tapi kalo via web ato mobile web tetap akan praktis. Ya kita tiru UI-nya Facebook lah :-)
Bagaimana menurut Anda? Kira2 apakah ini bakal disukai pengguna... dan apakah ini bisa mendorong kopdit (sekaligus meningkatkan citra koperasi) di masyarakat?

Aktivis Community Currency System (CCS) Indonesia

Dari Asia CCS Report :

Ms. Budhita Kismadi 
Consultant, Indonesia
Mr. Dani Wahyu Munggoro
Social Entrepreneur Fellow
Ashoka International, Indonesia 
 
Mr. Ravrisond Baswir
Director, Institute of Development and Economic Analysis, Indonesia 

Selain itu:
  • Stephen DeMeulenaere (ex Strohalm, sekarang di Bali dengan Jungle Run Productions)
  • Koperasi Merapi Mulia 
  • Koperasi Mendasar
  • Koperasi Tri Tunggal
  • Carmelita Toelihere (Melly Tolihere) dengan Cileuk di Ciheuleut, Bogor Timur

Cyclos: Software Community Currency System Open Source

Nyari-nyari software, sepertinya Cyclos ini yang paling mantap sebagai pilar teknologi untuk implementasi CCS.

Alasannya simpel:
  • Software ini sudah teruji
  • Disponsori oleh STRO (Strohalm) dan Instrodi, NGO yang sangat kompeten di bidangnya
  • Open source
Karena software ini cukup kompleks, sepertinya lebih bijak kalau saya nggak langsung terjun di dalamnya. Namun, saya bisa mencoba mendevelop beberapa modul secara independen untuk:
  • micro remittance
  • mobile transaction (via SMS gateway)
  • web transaction
  • check financial statement
Setelah itu langkah berikutnya adalah mengintegrasikan dengan MIS/ERP yang dipergunakan oleh koperasi.

Langkah selanjutnya baru mengintegrasikan dengan Cyclos. Sejauh riset saya, Cyclos ini sepertinya modular (plugin-based) dan memang sedang ada development in-progress untuk fungsionalitas mobile transaction (via SMS) maupun dukungan untuk debit/credit card.

PR lainnya, Cyclos ini berbasis Java. Platform Java ini cukup ekonomis kalau dihosting on-premise/on-site, fully open source (OpenJDK) dan bisa jalan di Operating System apapun, terutama Linux/Ubuntu. Namun kalau dihosting di Internet, agak ribet. Bisa sich secara langsung pake public IP, di koneksi DSL misalnya Speedy. Bisa juga pakai VPS, ini butuh biaya lebih gede. Tapi investasi ini tetap besar bagi koperasi-koperasi kecil.

Salah satu solusi adalah mempergunakan Google App Engine for Java, yang mempunyai infrastruktur cloud yang kuat dan biayanya gratis untuk quota yang sudah cukup lumayan. PR-nya ya membuat Cyclos bisa running di GAE/Java ini, dan saya yakin ini bukan PR kecil.

Home - Cyclos Project Site
Cyclos is open source online banking software for complementary currency systems like LETS, Barter networks, Time banks and exchange systems that are introduced in order to stimulate the circulation and the availability of credit in regions or countries with under-use of capacities. The Cyclos team is also looking for opportunities to allow micro finance institutions easy linkage with their administration to use Cyclos as their transactional (on-line banking) system.
Cyclos is being produced by two teams of programmers, one in Brazil and one in Uruguay, being part of the respective national social trade organisation: STRO Uruguay and Instrodi. Cyclos is published under the GPL (open source) license meaning that it can be downloaded for free and used at no cost. Cyclos is developed in Java and runs on a variety of platforms like Linux, Windows, Macintosh and Solaris. From the start the objective has been to create professional software that is easy to use and maintain, secure, and highly customizable.

Cyclos offers a professional and complete on-line banking system where users can administer their accounts, view their transactions, and make (secure) payments via web access or mobile phone. Cyclos comes with various additional modules like a business directory, e-commerce platform, referrals and transaction qualifications, messaging and notification system, call/support center logging, and an integrated management information system.
In addition to the web and mobile payments it is also possible to administer the emission and intake of vouchers (scrip). The software has an extended administration section with build in automatic functions that make it possible to administer a currency system with minimal manual work. A list with all the Cyclos features can be found at this page.

Cyclos comes with various extra modules like an external payment module which allows webshops to support online Cyclos payments and a programming interface (API) for integration with third party software. We are currently working on extensions for SMS and Card payments.


Metodologi C3 Circuit

Ada banyak sekali literatur, ide, dan konsep mengenai Community Currency System (CCS) yang beredar di Internet. Tapi kebanyakan masih berupa ideologi/konsep, bukan berupa metodologi (berorientasi praktek).

Metodologi C3 (Commercial Credit) Circuit oleh Bernard A. Lietaer dan Strohalm Foundation / SocialTrade.org sepertinya paling cocok untuk kebutuhan studi kasus saya ini.

Satu alasannya adalah karena Strohalm Foundation sudah mempunyai pengalaman menerapkan konsep CCS modern ini di Indonesia, dan bahkan mungkin pioneer sekaligus penggerak utama. Sebenarnya CCS sudah ada sejak dulu, misalnya Uang Kepeng di Bali, tapi penerapannya secara modern dan sistematis belum banyak (atau bahkan tidak sama sekali) dipakai.

Alasan lainnya adalah filosofi C3 Circuit ini cocok sekali dengan cara kerja CC seharusnya menurut versi saya sendiri. C3 Circuit alias Commercial Credit Circuit berarti kolaborasi antar:
  1. Consumer : mendapatkan produk dengan harga relatif lebih mudah, dan setiap pembelanjaan otomatis mendukung ekonomi lokal.
  2. Commerce : para UKM/SME (pedagang) mendapat kredit lunak yang bukan semata-mata berasal dari bank, tapi menggunakan kliring bersifat B2B dari supplier.
  3. Agriculture : sistem ini sangat membantu para produsen. Dengan consumer dan commerce yang bergairah, plus pembayaran sudah "lunas di awal" sehingga produksi dapat berjalan berkesinambungan.
Community Currency System bukan hal baru, tapi yang diperlukan adalah modernisasi dan penggunaan metodologi yang tepat. Yuk menggunakan CCS yang sudah teruji.. C3 Circuit!

Tentunya ini membutuhkan peran serta elemen2 di dalamnya, ekosistem antara konsumen, UKM, produsen, serta lembaga struktural yaitu kopdit juga koperasi produksi (GKSI/KPSBU/KPBS dalam lingkup riset saya).

C3 Circuit tidak menghilangkan peran serta pemerintah, asuransi, maupun lembaga keuangan swasta... justru C3 Network ini dibuat untuk melancarkan transaksi internal antar anggotanya, sehingga struktur yang makro (bank) efektif.

Saya jadi ingat arsitektur komputer, di mana akhir2 ini makin banyak yang "integrated". Misalnya GPU yang dulunya terpisah. Northbridge dan Southbridge, sekarang mulai "menyatu" dengan prosesor. Gunanya adalah agar lebih efisien. Seperti ini pula kira-kira cara kerja C3 Circuit / C3 Network. Meski sepertinya yang nggak ngerti komputer nggak akan ngeh dengan perumpamaan saya ha ha ha...

(Micro) Finance Institutions
(Micro) Finance Institutions

Social TRade methodologies offer three major advantages for Micro Finance Institutions (MFIs):

1. Cheaper credit. When a company receives a credit, it will spend this credit in large part with other member companies of the C3 Circuit. These secondary companies therefore benefit indirectly by this granting of credit and there is a multiplier effect within the member system. The system administration pays a small fee for this feature or the member companies contribute to guarantee the credit. For example this is being done in the C3 CompRaS network in Porto Alegre in Brazil.
2. Increasing outreach in rural areas. This is done by establishing a closed internet based network of payments. The Social TRade Cyclos software also allows mobile phone payments. New features are being developed as POS payments in local shops and IVR banking via public phones when there is no Internet connection. State of the art technology therefore allows small local shops to become an outlet for the MFI.
3. Additional low costs loans. Combining credit lines through C3 methodology offers the option to create additional funds. This was tested for example in Suchitoto in El Salvador with the Redes network.


Yayasan Rainbow Purple sebagai Pemberdaya Ekonomi

Kayanya pas deh kalo Rainbow Purple Foundation bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi menggunakan strategi seperti yg tercurahkan dalam blog ini.

Rainbow Purple Foundation adalah cita-cita saya (yang sampai saat ini masih hanya sekedar cita-cita). Semoga suatu saat bisa terealisasi, dan mungkin sekarang termasuk langkah-langkah awalnya. Amiin.

Dokumentasi Strohalm Foundation Community Currency System (CCS) di Indonesia

Strohalm Foundation sempat mengembangkan kolaborasi community currency system (CCS) dengan koperasi kredit (credit union), berikut dokumen-dokumennya.

Complementary Community Currency Systems in Asia

Indonesia

For more information, please contact:
Untuk informasi lebih lanjut:
Stephen DeMeulenaere
Strohalm Foundation
stephen_dem@yahoo.com
Download Buku Baru Kita!
Sistem-Sistem Pertukaran Lokal dan Ekonomi Kerakyatan di Indonesia
(2.7mb, PDF Zip)

Bahasa Indonesia (Indonesian Language)
Latar Belakang
Proses Mendesain Sistem Pertukaran Masyarakat Stephen DeMeulenaere
2006
Sejarah Singkat Sistem Mata Uang Masyarakat Stephen DeMeulenaere
2000
Diskusi Berseri 'Community Currency System' (CCS) Sebagai Alternatif Sistem Perekonomian Masyarakat Stephen DeMeulenaere & YAPPIKA
2000
Proyek Riset CCS Stephen DeMeulenaere
2000
Beberapa Cara Partisipatif Untuk Memahami Sistem Mata Uang Masyarakat Stephen DeMeulenaere
2001
Sistem Mata Uang Masyarakat di Indonesia: Masalah dan Prospeknya Dr. Revrisond Baswir
2001
Garis Besar Ekonomi Terpadu Masyarakat Stephen DeMeulenaere
2002
Pendekatan Inovatif Strohalm untuk Perkembangan Strohalm Foundation
2005
Konsep-Konsep dan Riset
Sistem Kerja Ketrampilan Saling Pinjam-Meminjam Stephen DeMeulenaere
2001
Sistem Gotong Royong Stephen DeMeulenaere
2001
Sistem Kooperasi Masyarakat Stephen DeMeulenaere
2001
Sistem Uang Pasar (Zip) ... PDF Stephen DeMeulenaere
2002
Sistem Arisan + Stephen DeMeulenaere
2003
Gambaran Umum Jaringan Pembeli dan Pedagang C3 Strohalm Foundation
2003
Gambaran Umum Program Bonus Strohalm Foundation
2003
Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perkotaan Dengan Sistem Mata Uang Masyarakat Carmelita Toelihere
2003
Kedinamisan Vitalitas Budaya yang Berkelanjutan dalam Era Globalisasi Dunia: Masyarakat Bali Sebagai Contoh Lietaer & DeMeulenaere
2003
Sokun Assalam : Sebuah Alat Tukar Di Lingkungan Santri Pondok Pesantren di Solo Ngatidjo
2004
Makalah Arisan+ Fakultas Psikologi UI
2005
Menghargai Kembali Uang Kepeng Sebagai Media Pertukaran Lokal di Bali Stephen DeMeulenaere
2005
Kupon Kerjasama Komunitas Stephen DeMeulenaere
2005
Sistem Pertukaran Bon Stephen DeMeulenaere
2003
Sistem Barter di Pulau Lembata Ferry Yuniver
2003
Sistem-Sistem Pertukaran Lokal dan Ekonomi Kerakyatan Stephen DeMeulenaere
2006

English Language

Author

Date

CCS in Indonesia Dr. Revrisond Baswir
2002
Community Currency Systems and Credit Unions Stephen DeMeulenaere
2000
Comprehensive Community Development on Lombok Chris Herbst
2000
Sustaining Cultural Vitality in a Globalizing World - The Balinese Example Lietaer & DeMeulenaere
2002
Sokun Assalam "Peace Cheque": A Medium of Exchange in a Muslim Boarding School Ngatidjo
2004
Revaluing Uang Kepeng as a Medium of Local Exchange in Bali Stephen DeMeulenaere
2005
Strengthening Indonesia's "Gotong Royong' Traditional Social Reciprocation System Stephen DeMeulenaere
2000
Arisan + - An Indonesian Modification of Microcredit Stephen DeMeulenaere
2003
Bon Exchange System: An Improvement on the Indonesian system for exchanging local credit Stephen DeMeulenaere
2003
Merapi Mulia and Strohalm collaboration presentation Stephen DeMeulenaere
2006

Kerjasama Koperasi dan Swamitra Bank Bukopin?

:: Welcome To Bukopin Website ::
Bisnis Mikro (Swamitra) Bank Bukopin
Latar Belakang
Sebuah konsep terobosan dari Bank Bukopin, yang memungkinkan Koperasi dan Lembaga Keuangan Mikro mengatasi masalah kelangkaan modal, kepercayaan dan manajemen melalui kerjasama Kemitraan dengan Bank Bukopin menggunakan teknologi mutakhir untuk menjamin pelayanan yang professional serta jaringan pelayanan yang terpadu.
Definisi
Swamitra adalah nama dari suatu bentuk kerjasama/kemitraan antara Bank Bukopin dengan Koperasi untuk mengembangkan serta memodernisasi usaha simpan pinjam melalui pemanfaatan jaringan teknologi (network) dan dukungan sistem manajemen sehingga memiliki kemampuan pelayanan transaksi keuangan yang lebih luas, dengan tetap memperhatikan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Kerjasama/kemitraan yang dibangun didasarkan pada pertimbangan kepentingan yang sama untuk menciptakan nilai tambah bagi kedua belah pihak, baik bagi Koperasi ataupun Bank Bukopin.
Swamitra berasal dari bahasa Kawi yang artinya kerja sama atas keinginan sendiri (tanpa paksaan) dengan prinsip kebersamaan dan saling menguntungkan.
Swamitra sebagai suatu usaha yang dibentuk melalui kerjasama dengan Koperasi, tunduk pada Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Simpan Pinjam, yang dalam pelaksanaan kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dan penyaluran dana melalui kegiatan simpan pinjam dari dan untuk anggota koperasi yang bersangkutan, calon anggota koperasi yang bersangkutan, serta koperasi lain dan atau anggotannya (untuk selanjutnya cukup/dapat disebut Anggota Swamitra).
Tujuan
Menumbuhkembangkan simpan-pinjam di kalangan anggota Koperasi guna memacu pertumbuhan
usaha dalam rangka peningkatan kesejahteraan anggota tersebut.
Membuka peluang akses permodalan bagi Koperasi yang selama ini menghadapi banyak kendala
dalam kerjasama dengan bank atau lembaga keuangan lainnya.
Mendukung terciptanya jaringan kerja antar kantor Swamitra diseluruh Indonesia, dengan
harapan dapat menghasilkan :

Sinergi kerja antar Swamitra yang lebih luas
Volume transaksi keuangan yang lebih besar
Kecepatan dan keamanan transaksi yang lebih baik
Efisiensi dan optimalisasi usaha yang lebih tinggi
Kontrol yang lebih baik dalam pengelolaan dana
Manfaat
Sistem teknologi dan manajemen yang dipergunakan Swamitra diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan pada Anggota Swamitra tersebut, sehingga dapat meningkatkan
penghimpunan dana untuk disalurkan kembali kepada Anggota Swamitra lainnya.
Anggota Swamitra dapat melakukan transaksi keuangan yang pada masa mendatang
dapat dilakukan langsung di setiap kantor Swamitra melalui sistim jaringan (on line)
berdasarkan kesepakatan kerjasama diantara koperasi pemilik Swamitra bersangkutan.
Memberi dukungan pada penyediaan informasi dan komunikasi bisnis sehingga perencanaan
produksi dan pemasaran dapat dilakukan dengan lebih baik, yang dapat dimanfaatkan
Anggota Swamitra dalam rangka peningkatan usaha produktif-nya.
Penyajian laporan keuangan beserta perubahannya dapat dilakukan secara cepat dan akurat
pada setiap saat dibutuhkan sehingga kepentingan untuk pengendalian dan pengawasan
dalam pengelolaan Swamitra dapat dilakukan dengan baik.
Sistem manajemen dan teknologi Swamitra memiliki daya tarik bagi pihak-pihak lain, seperti ;
Pemerintah, BUMN, dan Swasta lainnya dalam rangka penyaluran dana-dana baik dalam
bentuk bantuan maupun dana bergulir dalam rangka meningkatkan usaha skala mikro dan kecil,
hal ini disebabkan kemampuannya dalam menyediakan laporan perkembangan penyaluran
dana-dana tersebut secara akurat
Produk Swamitra
Produk Dana
Pada dasarnya produk dana atau simpanan yang dimiliki oleh Swamitra terdiri dari :

Simpanan Swamitra
merupakan produk simpanan yang dapat ditarik dan disetor sesuai dengan keinginan
anggota melalui kantor Swamitra
Simpanan Berjangka Swamitra
merupakan produk simpanan yang penarikannya dapat dilakukan secara berkala,
baik 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan maupun 12 bulan dengan tingkat suku bunga yang bersaing.
Serupa dengan Deposito di Bank

Produk Pinjaman
Pada dasarnya produk pinjaman yang dapat dilayani oleh Swamitra terdiri dari :

Pinjaman untuk Modal Kerja
Pinjaman untuk Investasi
Pinjaman untuk Konsumtif
Sistem On-Line Swamitra
Jaringan Swamitra yang menggunakan system real time online memungkinkan suatu transaksi
dilakukan di gerai Swamitra dimana saja. Gerai Swamitra dikelola oleh tenaga-tenaga professional
yang dilatih secara khusus oleh Bank Bukopin.
Mekanisme
Transaksi anggota Swamitra dilakukan dengan memanfaatkan jaringan real time online Bank Bukopin.
Seluruh gerai Swamitra terhubung dengan host Bank Bukopin, sehingga memungkinkan transaksi
dilakukan di gerai Swamitra dimanapun diseluruh Indonesia.
Real time online system Swamitra dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan Swamitra
kepada anggotanya.
Ini contoh skema kerjasama yang seharusnya bagus... tapi kenyataan di lapangan sepertinya tidak sesuai harapan di awal.

Swamitra Bukopin ini dan studi kasus Smescomart .. perlu dipelajari lebih lanjut. So jangan mengulangi kesalahan yang sama.

Koperasi Toko: Pedagang Tradisional vs. Smescomart

WawasanDigital - Pedagang Pasar Madukara tolak Smescomart
Pedagang Pasar Madukara tolak Smescomart

BANJARNEGARA - Para pedagang di Pasar Madukara sepakat menolak berdirinya minimarket Smescomart di dekat pasar tersebut. Kemarin, paguyuban pedagang mengirimkan surat kepada Komisi B DPRD Banjarnegara untuk mengadukan persoalan ini.

Mereka meminta agar izin pasar modern tersebut ditolak atau ditarik karena dikhawatirkan akan mematikan pedagang pasar tradisional.

Dalam surat yang ditandatangani ketua Paguyuban Pedagang Pasar Madukara, S Badriyah, Sekretaris M Nurkholis dan Kepala Pasar Sutrisno serta sekitar 140 orang pedagang, ada empat poin yang menjadi alasan penolakan berdirinya Smescomart. Pertama, adanya Smescomart yang merupakan pasar modern dikhawatirkan akan melumpuhkan pasar tradisional karena jaraknya dekat.

Kedua, pedagang pasar dan sekitarnya sudah bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau tanpa harus dibuka minimarket. Ketiga, Paguyuban pedagang pasar umumnya berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang ingin meningkatkan kualitas hidup tanpa hadirnya pengusaha/pemodal besar. Terakhir, adanya Smescomart dikhawatirkan akan memancing jenis usaha lain yang serupa untuk turut hadir di dekat pasar tradisional.

"Empat alasan penolakan merupakan hasil musyawarah pedagang pasar dan sekitarnya pada tanggal 4 Oktober lalu. Maka dengan ini pedagang menyatakan sangat tidak setuju berdirinya Smescomart," kata ketua paguyuban pedagang, S Badriyah.

Peran desa
Berdirinya swalayan tersebut merupakan kerjasama antara pihak pemerintah Desa Madukara dengan investor. Pihak Desa Madukara menyediakan lahan yang disewakan kepada pihak ketiga.

Sementara itu, Kepala Desa Madukara, Purwono yang dihubungi Wawasan terpisah menjelaskan, persoalan tersebut sebenarnya sudah selesai. Antara pihak pedagang pasar dengan Smescomart sudah bertemu untuk musyawarah. Dalam pembicaraan ada beberapa kesepakatan. Pertama, jika mulai beroperasi jam buka Smescomart pukul 09.00 hingga 21.00. Kedua, harga jual barang- barang di Smescomart lebih tinggi dibandingkan harga di pasar tradisional.

Ketiga, Kalau pihak Smescomart akan mengadakan program diskon maka pedagang pasar diberi tahu terlebih dulu. "Selain pedagang dan Smescomart, pertemuan tersebut juga dihadiri Dinas Perdagangan, Kantor Perizinan dan Bagian Hukum Setda. Jadi persoalan ini sudah selesai," jelas Purwono.

Dijelaskan Purwono, setelah 25 tahun, bangunan tersebut menjadi hak milik desa. Adapun harga sewa adalah Rp 40 juta untuk 10 tahun. "Sedangkan tahun ke-10 hingga ke-15 harga sewa dievaluasi," ungkap Purwono. ito-Tj
Ada jalan yang lebih baik nggak ya?
  • Pedagang tradisional (toko kelontong / toko mracang) mendapat pendidikan
  • Standarisasi toko kelontong, meningkatkan mutu masing2 toko tersebut
  • Penerapan teknologi di toko tradisional (modernisasi)
  • Delivery service
  • Pemanfaatan kelebihan toko tradisional (lebih local, dekat, dll.?) dibanding minimarket

Kliping: Susu Sapi dan Yoghurt KPSBU, Oleh-Oleh Khas Lembang « Indra KH

Susu Sapi dan Yoghurt KPSBU, Oleh-Oleh Khas Lembang « Indra KH
Hari masih pagi. Mentari baru saja beranjak dari peraduannya di ufuk timur. Namun hal itu tak menyurutkan langkah para peternak sapi perah Lembang untuk bergegas menuju kandang ternaknya. Tak lama seusai itu, mereka pun melanjutkan aktivitasnya untuk segera menyetor susu sapi hasil perahan mereka ke lokasi pengumpulan sementara. Di tempat tersebut telah menunggu mobil pengangkut yang siap mengantarkan susu sapi ke Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU) untuk pengolahan selanjutnya.

peternak ; courtesy indra kh

Langkah para peternak menuju tempat penampungan KPSBU (indrakh)

Hingga kini sedikitnya terdapat 6000 peternak sapi perah yang bergabung dengan KPSBU Lembang. Setiap harinya, tidak kurang dihasilkan sekitar 110 ton susu sapi dari kawasan yang juga terkenal dengan sektor agrowisatanya ini. Stok yang melimpah dari para peternak sapi perah Lembang tidak sampai menyulitkan pemasaran. Pasalnya sudah ada pihak swasta yang siap menampung pasokan dari KPSBU. Demikian informasi yang saya baca dari Harian Umum Pikiran Rakyat (19/4).

loket kpsbu ; courtesy indra kh

Suasana loket KPSBU Lembang saat hari libur(indrakh)

Bagi Anda yang juga penasaran ingin mencicipi segarnya susu sapi Lembang berikut menu olahan lainnya, seperti yoghurt, tidak perlu kecewa. Pasalnya pihak KPSBU tidak menyetorkan semua stok ke pabrik susu . Mereka tetap menyediakan stok untuk dijual langsung kepada masyarakat umum. Satu liter susu murni dijual dengan harga Rp. 2300, – sementara untuk susu pasteurisasi Anda cukup merogoh kocek Rp. 1500, – per cup. Jika penasaran ingin mencoba yoghurt aneka rasa, Anda bisa membelinya dengan harga Rp. 2000, – per cup. Hanya saja jangan kaget jika Anda melihat pembeli yang penuh sesak, terutama saat datang waktu libur atau akhir pekan.

petugas kpsbu ; courtesy indra kh

Kesibukan karyawan KPSBU saat melayani pembeli (indra kh)

Lokasi penjualan susu milik KPSBU tak jauh dari pusat kota Lembang, tepatnya di bagian timur pasar panorama Lembang. Jadi, jika Anda ingin berkunjung ke sana jadikanlah pasar panorama sebagai acuan lokasi. Lokasi terminal Lembang pun terletak tak jauh dari tempat ini. Jadi bila Anda tak memiliki kendaraan pribadi, beberapa rute angkutan umum menuju Lembang ( ST Hall – Lembang, Ciroyom – Lembang) bisa menjadi pilihan.


Kenapa Namanya Koperasi Bersama?

Alasan blog ini dinamakan Koperasi Bersama utamanya karena terburu-buru saja, hehe.. ;-)

Yang terpikir waktu itu adalah "ATM Bersama", so salah satu tujuan riset ini emang ngelink koperasi-koperasi seperti ATM Bersama ngelink bank-bank. Plus, "Bersama" memang sedikit banyak mewakili semangat koperasi. Jadilah Koperasi Bersama sebagai project codename. Apakah nantinya jadi project beneran atau sekedar "vaporware", kita lihat saja nanti... Yang jelas, apabila ada yang membantu kontribusi, maka kemungkinan sukses lebih besar. :-)

Saya merasa kumpulan literatur dan informasi tentang koperasi dan community currency system... yang ada di dalam kepala saya sudah lumayan tumpuk-bertumpuk. Jadi kalo dikumpulin dalam komputer saya saja koq rasanya kurang afdhol.

So saya pikir lebih bermanfaat kalo sekalian dibublish di blog, selain sebagai catatan pribadi saya, juga mungkin bisa bermanfaat bagi orang lain. Yang paling saya cari, tentunya adalah masukan dari siapa saja.

Community Currency System (CCS) untuk Koperasi

Community Currency System (CCS) atau lebih formalnya disebut Complementary Currencies menyediakan alat tukar ("mata uang") pelengkap dan digunakan bersamaan dengan mata uang nasional (rupiah).

Saya mencoba belajar dari pengalaman berdasarkan studi kasus berikut:
  1. Koperasi Merapi Mulia, Sleman, Yogyakarta.
    National-currency backed currency. Convertible. Dibacking 100% oleh Rp.
    15% fee jika dicairkan ke Rp. masuk profit kopdit.
    Mata uang berlaku max 1tahun, jika tidak direnew maka dianggap income.
    Contacts: Enny Susilandari, Stephen DeMeulenaere.
  2. Cileuk system di Ciheuleut, Bogor Timur - Koperasi Bantar Kemang.
    Carmelita Toelihere yang mengadakan tugas akhir mata kuliah di sini (orangnya nggak ketemu dicari via Internet.. ada yang punya info tentang keberadaan sdr. Carmelita ini?).
  3. Kopdit Mendasar, Kopdit Tri Tunggal - Yogyakarta. Dibantu Strohalm jg untuk CC. (Bekatigade Network)
    Non-convertible local currency.
    Saya heran kenapa Stephen memilih untuk non-convertible, mungkin alasannya agar berkembang dulu, nantinya dikembangkan menjadi convertible (secara bertahap).
    Sedangkan Koperasi Merapi Mulia di atas langsung convertible, saya ingin tahu bagaimana hasil dan statusnya sekarang, trus apa saja hambatan2nya..
Penerapan yang umum dari Sistem-sistem di atas adalah:
  • semua masih menggunakan bentuk kupon/mata uang kertas (belum elektronik)
  • istilahnya jangan uang, tapi "chips", atau bisa juga voucher, poin, koin, kredit. Cileuk singkatan dari Ciheuleut Kupon. Karena org kita lebih kenal kupon daripada voucher.
  • 3 desirable attributes of currencies:
    convertible (yes! with 24-hour online service, accessible by mobile!)
    non-counterfeitable (impossible with electronic, unless security breach)
    stable in value (hmm... need cooperation with produce coops)
Saya berhipotesis bahwa satu hambatan utama dalam pengembangan CCS ini adalah masalah teknis. Kalo iya, berarti seharusnya bisa sangat terbantu dengan implementasi teknologi.

Pertanyaannya sekarang... apa iya???

Teknologi untuk Koperasi

Teknologi yang sedang saya kaji utamanya untuk Koperasi Kredit.

Antara lain untuk keperluan:
  1. laporan keuangan/administratif koperasi *
  2. remittance *
  3. Point of Sale *
  4. bilyet giro / cek (remittance dengan maturity date) *
  5. pembelian pulsa *
  6. pembayaran listrik, PLN, dll. *
  7. mobile voting
  8. member transactions that spans across co-ops (Ali in coop A transfers to Beni in coop B)
  9. dual/multiple memberships link (Ali in KPSBU and also in Kopdit)
  10. single sign on (for linked multiple memberships)
  11. credit card account
  12. inter-coop cooperation, e.g. between KPSBU and Kopdit
  13. QR-Code untuk: (1) kartu anggota, (2) POS, (3) remote transaction (via brosur)
  14. Penerapan C3 Circuit (voucher system) (complementary currency implementation)
* via (1) Internet, (2) mobile web, (3) SMS.. atau kombinasi di antaranya disesuaikan dengan kebutuhan

Yang tidak dikaji:

  1. ATM. Hambatan biaya.
  2. smart card / magnetic card. Hambatan biaya, terutama alat pembuat dan pembaca.
  3. electronic data capture (EDC). Hambatan biaya.

Pendidikan untuk Koperasi

Pendidikan. Dari semua literatur, survey, maupun interview saya ternyata hal mendasar yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan koperasi adalah Pendidikan.
  1. Pendidikan ke masyarakat. Memperbaiki citra koperasi yang rusak dan mengubah persepsi/paradigma masyarakat yang salah terhadap konsep & praktek koperasi. Koperasi bukanlah alat ORBA maupun alat siapa-siapa. Koperasi adalah dari anggota untuk anggota, yuk menjalankan koperasi secara benar.
  2. Pendidikan ke anggota koperasi. Bagaimana menjalankan koperasi secara benar, sesuai dengan visi, misi, prinsip koperasi sehingga tidak terjadi penyelewengan, dan dapat mencapai tujuan bersama. 
  3. Pendidikan ke manajemen koperasi. Koperasi bukanlah "organisasi ajaib" yang otomatis sukses, tapi harus dikelola secara profesional layaknya bisnis korporasi. Bagaimana kita ingin koperasi maju seperti koperasi kalo masih dikelola secara asal-asalan? Di sini termasuk manajemen SDM, manajemen produksi, pemasaran, akunting, dll.
  4. Pendidikan ke karyawan koperasi. Sebenarnya ini termasuk ruang lingkup manejemen SDM, tapi ada beberapa hal yang spesifik terhadap karyawan koperasi. Misalnya, karyawan diberikan insentif untuk "shop local", jadi tidak sekedar bekerja selayaknya di perusahaan (asal kerja) tapi mempunyai kontribusi aktif terhadap sustainabilitas jaringan usaha koperasi yang mempekerjakannya dan tentunya bonus yang didapat karyawan.
  5. Pendidikan ke advokat koperasi (feedback). Para penggerak dan trainer koperasi juga harus "ditraining ulang" agar sekian banyak literatur, case study, eksperimen, dan pengalaman perkoperasian di Indonesia dan di luar negri yang sudah 150an tahun ini tidak sia-sia. Istilah programmernya: don't reinvent the wheel.
  6. Pendidikan pendayagunaan teknologi. Sebagai orang IT, sebenarnya titik berat saya (pribadi) di sini. Karena di sinilah saya paling paham dan paling bisa berkontribusi dibanding yang lain-lainnya. Untuk sisi-sisi lainnya, harus musti banyak mencari bantuan dari pelaku koperasi. Lihat selengkapnya di artikel Teknologi untuk Koperasi.

Koperasi Role Model : GKSI (KPSBU & KPBS) dan Kopdit

Dalam proyek saya ini saya akan fokus untuk mengambil intisari alias resep kesuksesan dua koperasi berikut, yang berbeda jenis:
  1. Kopdit (Koperasi Kredit) binaan INKOPDIT / CUCOINDO.
  2. Koperasi Produksi : KPSBU (Koperasi Peternak Susu Bandung Utara) dan KPBS (Koperasi Peternak Susu Bandung Selatan) yang tergabung dalam GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia).
Dua Fungsi, Satu Tujuan. Merupakan kesengajaan untuk memilih dua jenis koperasi yang berbeda karena menurut saya dua fungsi koperasi tersebut (kredit dan produksi) merupakan inti perekonomian dan masing-masing punya peran tersendiri.

Kolaborasi. Tujuan saya juga untuk meriset bagaimana kedua jenis koperasi tersebut dapat bekerjasama, misalnya:
  • Peternak yang butuh kredit dapat mengambil dari Kopdit, secara terintegrasi dan prosesnya tidak ribet. Semudah apabila GKSI mempunyai KSP sendiri, tapi dengan manajemen yang profesional selayaknya Kopdit sejati.
  • Pengusaha/UKM yang mendapat kredit dari Kopdit, mendapat akses yang lebih mudah ke peternak di GKSI, sehingga lebih mudah untuk mengembangkan usaha. Daripada melulu mengurusi masalah supply chain, lebih baik waktu & tenaga pebisnis dialihkan ke bidang lainnya misalnya untuk marketing, yang merupakan bidang yang sangat diperlukan.

Apa itu Koperasi Bersama ?

Koperasi Bersama adalah satu misi untuk mewujudkan koperasi yang modern dan saling bekerjasama untuk mensejahterakan satu sama lain, baik antar anggota, antar koperasi, maupun dengan pihak lain (pemerintah, swasta, dll.)

Nama saya Hendy Irawan, tinggal di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Di sini saya akan ngeblog tentang pengalaman, uneg-uneg, hasil riset, ya pokoknya apa pun lah yang berhubungan dengan koperasi dan meningkatkan ekonomi khususnya di Indonesia.

Bismillah...